MusliModerat.net - Sejarah mencatat, ada sejumlah kelompok yang tidak menyetujui berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) pasca resmi dideklarasikan pada 17 Agustus 1945. Gerakan subversif mereka lakukan, makar dan kudeta terhadap pemerintahan RI yang didukung mayoritas rakyat Indonesia menjadi tujuan.
Kelompok-kelompok
tersebut adalah Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) prakarsa
Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo, Partai Komunis Indonesia (PKI) yang
saat itu digerakkan oleh Dipo Nusantara Aidit, Pemerintahan Revolusioner
Republik Indonesia (PRRI) yang didirikan oleh Letkol Achmad Husein,
Perjuangan Rakyat Semesta (Permesta) yang dimotori oleh Lektol Venjte
Sumual, Kolonel D.J. Somba, dan Mayor Eddy Gagola.
Sekilas dilihat, upaya bughot (memberontak)
sebagian besar dimotori oleh tentara yang sudah merasa tidak sejalan
dengan visi pemerintahan yang ada dengan kecenderungan politik
kekuasaaan yang tinggi. Di beberapa literatur sejarah menyebutkan,
proklamasi kemerdekaan RI dibarengi gerakan hijrah pasukan, baik dari
tentara nasional, Hizbullah dan Sabilillah dari kawasan jajahan Belanda
ke kawasan RI.
Gerakan
pembersihan dalam bentuk hijrah tersebut menyisakan beberapa tentara.
Sisa-sisa laskar tentara tersebut selanjutnya diorganisir secara
perorangan, misal di Jawa Barat oleh Kartosoewirjo untuk melakukan
perlawanan terakhir.
Dijelaskan oleh Abdul Mun'im DZ dalam Runtuhnya Gerakan Subversif di Indonesia (2014), sejumlah tentara yang tertinggal di Jawa Barat tersebut diorganisir kemudian dinamakan Tentara Islam Indonesia (TII).
Setelah
itu mereka merancang Negara Islam Indonesia (NII) yang kemudian pada 10
Februari 1948 dan pada 25 Agustus 1948 dikeluarkan maklumat Pemerintah
Islam Indonesia yang menandai berdirinya Negara Islam menggantikan
Republik Indonesia yang dianggap kafir dan komunis.
Kondisi
keamanan nasional seketika kacau apalagi PKI merespon DI/TII yang
menganggap bahwa Indonesia merupakan negara komunis dengan menggelorakan
perlawanan dengan mengadakan pemberontakan di Madiun pada 18 September
1948. Jika DI/TII ingin mendirikan Negara Islam, PKI berupaya menegakkan
Negara Soviet Indonesia.
Penghianatan
yang dilakukan oleh DI/TII dan PKI ini mendorong NU sebagai
satu-satunya organisasi yang loyal terhadap NKRI untuk segera mengangkat
Soekarno sebagai waliyyul amri yang sah sehingga diharapkan bisa menyingkirkan semua yang memberontak dan memusuhi negara.
Sikap
NU dan pesantren yan tegas terhadap aksi pemberontakan menyebabkan
mereka dimusuhi oleh DI/TII. Beberapa perangkat dakwah NU menjadi
sasaran teror. Pesantren, masjid, madrasah NU dibakar, bahkan beberapa
kiai diculik dan harta benda dirampas dengan tidak berperikemanusiaan.
Bahkan salah satu kiai NU, KH Idham Chalid menjadi sasaran pembunuhan.
Pembentukan KPK
Terhadap
gerakan-gerakan subversif ini, para kiai tidak tinggal diam begitu
saja. Mereka tidak mau bangsa dan negara yang telah dibangun atas dasar
konsensus (kesepakatan) kebangsaan menjadi hancur hanya karena
kepentingan kelompok tertentu yang a historis. Aksi
gerombolan DI/TII bukannya menguntungkan umat Islam tetapi malah
menimbulkan malah petaka bagi Muslim itu sendiri. Tidak sedikit umat
Islam yang menjadi korban kekejaman DI/TII.
Gerakan
DI/TII yang sudah melampui batas kemanusiaan dan konsensus bersama
negara berdasarkan Pancasila membutuhkan pemikiran, bantuan, dan
partisipasi aktif dari para kiai. Dalam memoarnya (2008), KH Idham
Chalid yang saat itu menjabat sebagai Wakil Perdana Menteri II dan
Kepala Badan Keamanan membentuk badan yang diberi nama Kiai-kiai
Pembantu Keamanan (KPK).
Kiai
di dalam badan disebut KPK ini utamanya untuk merespon anggapan DI/TII
yang menganggap bahwa negara ini adalah Republik Indonesia Kafir (RIK).
Namun, sejumlah laskar yang memang lahir dari rahim NU seperti Hizbullah
dan Sabilillah turut membantu mengantisipasi pemberontakan DI/TII
maupun yang dilakukan oleh PKI kala itu.
KPK
terdiri dari sejumlah kiai dari beberapa provinsi yang di daerahnya ada
gerombolan DI/TII. KH Idham Chalid menunjuk KH Muslich sebagai Ketua
KPK. Umumnya, setiap provinsi hanya menunjuk satu orang kiai dalam
mengkoordinir gerakan KPK. Kecuali provinsi yang sudah pada kondisi
gawat seperti Jawa Barat. Di tanah Priangan ini, diangkat dua orang
kiai.
Anggota
KPK di Jawa Barat adalah KH Dimyati (Ciparai) dan Moh. Marsid. Untuk
Jawa Tengah dipimpin oleh KH Malik, kiai terkemuka asal Demak. Di Jawa
Timur ada KH Raden As'ad Syamsul Arifin Situbondo.
Adapun
di Kalimantan KPK dimotori oleh KH Ahmad Sanusi, Lampung digerakkan
oleh KH Zahri, Sumatera Selatan dipimpin oleh ulama terkemuka di Sumsel
dan Rais Syuriyah NU Bengkulu KH Jusuf Umar, Sumatera Tengah KH Kahar
Ma'ruf, Sumatera Utara dan Aceh Tengku Mohammad Ali Panglima Pulen
(pernah menjadi Ketua PWNU Aceh dan Anggota MPRS, dan di Sulawesi KH
Abdullah Joesoef.
Dari
badan yang dibentuk oleh KH Idham Chalis tersebut, semua kiai sepakat
bahwa DI/TII adalah kelompok pemberontak yang mengganggu keamanan bangsa
dan negara secara nasional sehingga perlu dilawan. Apalagi mereka sudah
terbukti memakan korban manusia yang tidak sedikit.